1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedudukan wanita yang menjadi objek dan tokoh utama
dalam penciptaan karya sastra sangat berpengaruh pada budaya yang berkembang
hingga sekarang. Dimana dalam karya sastra tersebut, kedudukan wanita tidaklah
sama dengan laki-laki, berada jauh dibawahnya, berpengetahuan sangat rendah
karena keterbatasan yang diciptakan, dan cenderung berada pada kekuasaan
laki-laki dan adatnya. Dimana mereka harus menuruti semua kehendak laki-laki
sehingga menjadikan adat berkembang dalam suatu kalangan masyarakat dalam waktu
yang lama.
Dengan keadaan yang demikian, dan seiring perkembangan
jaman telah mendorong wanita untuk lebih
maju dan belajar tentang sedikit arti kehidupan yang singkat ini sesuai
lembaran-lembaran yang diceritakan pada sebuah karya sastra, itulah ilustrasi
kehidupan mereka, para wanita. Bahkan dominan dari mereka, pembaca karya sastra
era modern ini adalah wanita.
Menurut kartono (1992: 10) wanita dapat merealisasikan
diri dengan bakat dan potensi yang dimilikinya untuk perjuangan. Eksistensinya
secara khusus dan manusiawi. Dalam keberadaanya di dunia, wanita mempunyai
hubungan tertentu dengan realitas, sehingga sanggup melepaskan diri dari
situasi sekarang dan di sisi lain menuju hari esok.
Dalam karya sastra memangkehadiran tokoh perempuan memperkuat karya sastra yang diterbitkan, karena konflik batin yang tercipta sangat bertolak belakang dengan feminism dan kelembutan yang sangat identik pada diri mereka. Dari sinilah muncul berbagai anggapan tentang kekuatan sesungguhnya seorang wanita dimana mereka dapat tertawa dalam tangis, tersenyum meski hati terluka, dan menangis karena bahagia.
Dalam karya sastra memangkehadiran tokoh perempuan memperkuat karya sastra yang diterbitkan, karena konflik batin yang tercipta sangat bertolak belakang dengan feminism dan kelembutan yang sangat identik pada diri mereka. Dari sinilah muncul berbagai anggapan tentang kekuatan sesungguhnya seorang wanita dimana mereka dapat tertawa dalam tangis, tersenyum meski hati terluka, dan menangis karena bahagia.
Disini penulis akan menguak lebih dalam tentang
perbandingan dua novel terkenal, “Ronggeng
Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari dan “Tarian
Bumi” karya Oka Rusmini.
Pada novel “Ronggeng
Dukuh Paruk”, pengarang menceritakan keadaan sosial-politik pada masa
sekitar 1965. Dimana banyak sekali korban sosial dan kemanusiaan seperti tokoh
Srintil sebagai masyarakat kecil yang menjadi korban kesewenang-wenangan para
penguasa yang berawal dari adat tanah tinggalnya sendiri.
Lalu novel kedua adalah “Tarian Bumi” oleh Oka Rusmini, yang menceritakan percintaan
terlarang antara Telaga dan lelaki yang dicintainya yang terbatas oleh sebuah
kasta yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat Bali. Telaga dari kasta
brahmana namun suaminya, Wayan dari kasta sudra.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana kedudukan dan peranan
tokoh Srintil dalam novel “Ronggeng Dukuh
Paruk” karya Ahmad Tohari?
1.2.2 Bagaimana
kedudukan dan peranan tokoh Telaga dalam novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini?
1.3TUJUAN
1.3.1
Mendiskripsikan
peranan dan kedudukan tokoh Srintil dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari.
1.3.2
Mendiskripsikan peranan dan kedudukan tokoh Telaga dalam novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini.
2.
PEMBAHASAN
2.1 Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya
Ahmad Tohari
·
Sinopsis
Trilogi ronggeng dukuh paruk merupakan kontribusi baru
yang penting bagi studi kesusasteraan sejarah Indonesia karena di dalamnya
mengandung komplikasi persoalan dengan aspek-aspeknya yang menarik bagi
pengembangan hubungan kesastraan dengan sejarah sosial. Dalam hal ini, terlihat
dari kekhasannya yang benar-benar menceritakan berbagai kronologi dan problema
yang hadir dalam sebuah kebudayaan asli yang terdapat di Banyumas, Indonesia.
Ronggeng dukuh paruk dapat dikatakan sebagai simbol verbal yang diselimuti
dengan penggunaan bahasa imajinatif oleh pengarang supaya pembaca dapat
memahami fenomena kehidupan pedesan yang dituangkan sebagai bentuk pencitraan
kembali dengan daya imajinasinya.
Novel tersebut menggambarkan
keterpurukan rakyat kecil dari berbagai unsur sosial, politik, psikologi dan
budaya yang dilengkapi dengan konflik kejiwaan para tokoh yang beragam. Dari
semua unsur tersebut diramu melalui cerita hilangnya sebuah tradisi ronggeng, kemiskinan
desa, serta romantika percintaan yang menyatu dalam jalinan cerita yang sangat
koheren.
Cerita ini berawal dari suatu desa
terpencil, Dukuh Paruk yang kering kerontang telah menampakan kehidupannya
kembali ketika Srintil menjadi ronggeng. Penduduk Dukuh Paruk yang merupakan
keturunan Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka
menganggap bahwa kehadiran Srintil akan mengembalikan citra pedukuhan yang
sebenarnya karena dukuh paruk hanya
lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah
serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya (Hal. 16).
Srintil adalah potret anak dukuh
paruk yang yatim-piatu akibat bencana tempe bongkrek. Enam belas penduduk
meninggal karena memakan tempe yang terbuat dari ampas kelapa tersebut. Tak
terkecuali juga kedua pembuat tempe itu, yaitu kedua orang tua Srintil. Setelah
malapetaka itu terjadi, Srintil yang masih bayi kemudian dipelihara oleh kakek
neneknya, Sakarya suami istri, sampai pada akhirnya mereka menyadari ternyata
Srintil memiliki indang ronggeng sehinnga kakek Srintil menyerahkannya kepada
dukun ronggeng yang bernama Kartareja. Srintil menggantikan ronggeng sebelumnya
atas restu arwah Ki Secamenggala dengan melewati berbagai tahap-tahap untuk
menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Pedukuhan yang sepi itu pun kembali
bergairah sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru menggantikan ronggeng yang meninggal dua
belas tahun yang lalu. Sekejap Srintil telah menjadi primadona yang
menyelamatkan Dukuh Paruk dari kehilangan jati dirinya.
Banyak sekali yang bahagia atas
kehadiran ronggeng Srintil. Namun, hal itu tidak dirasakan oleh Rasus yang
sangat benci dan kecewa menerima kenyataan bahwa Srintil benar-benar menjelma
menjadi seorang ronggeng. Sebab, Srintil adalah perempuan yang sangat
dicintainya dan sebagai tempatnya untuk menggambarkan sosok emak yang tidak
diketahuinya. Setelah Srintil benar-benar menjadi seorang ronggeng, Rasus
kehilangan sosok emaknya dan berfikir bahwa Srintil bukan lagi miliknya sendiri,
melainkan milik semua orang. Ia pun kemudian meninggalkan dukuh paruk dan
bertempat tinggal di desa Dawuan, tempat yang dijadikan sebagai pengasingan
diri dari adat dukuh paruk. Di desa tersebut, membuat pandangan Rasus banyak
berubah. Setelah
itu, Rasus bertemu dengan kelompok tentara sehingga membuat Rasus
tergabung menjadi serdadu.
Pengenalan atas dunia perempuan yang
dialami di Dawuan pun banyak membuat pandangan terhadap Srintil sebagai tokoh
bayang-bayang ibunya bergeser jauh, bahkan berhasil disingkirkannya. Oleh
karena itu, ketika Rasus ditawari oleh Srintil untuk menjadi suaminya ia
menolak. Menurutnya, dengan menolak
perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberikan sesuatu yang paling berharga
bagi Dukuh Paruk; ronggeng!. (Hlm. 107). Dengan keputusanya itu, Rasus
yakin bahwa ia mampu hidup tanpa kehadiran bayangan Emak, bayangan yang selama
ini membuatnya resah.
Atmosfer politik menjelang tahun
1965 mengubah sendi-sendi kehidupan Dukuh Paruk. Pedukuhan yang selama ini
hanya mengenal suara calung dan tembang ronggeng itu mulai disusupi paham-paham
dan lambang-lambang partai. Awalnya karena rombongan ronggeng pedukuhan itu
sering diundang naik pentas di tengah rapat umum dan kampanye politik oleh
kelompok partai komunis. Namun sesungguhnya Srintil yang tidak tahu apa tujuan
dari semua itu telah dijadikan umpan penarik massa dalam rapat-rapat
propaganda. Peristiwa G30S PKI meletus dan keadaan berbalik, PKI gagal merebut
kekuasaan. Orang Dukuh Paruk pun dituding sebagai antek komunis karena
seringnya mereka meramaikan kampanye politik partai itu. Dukuh Paruk kemudian
hancur bersama kobaran api, pedukuhan itu menjadi tumbal kemarahan terhadap
PKI.
Dalam lintasan hidupnya secara tidak dimengerti oleh
Srintil, ia terlibat dalam kekalutan politik 1965. Srintil yang sedang naik
daun, harus meringkuk di dalam penjara sebagai tahanan politik karena dianggap
sebagai pendukung PKI melalui berbagai pementasan ronggengnya. Srintil mencoba tersenyum sebagai usaha
terakhir menolak kenyataan. Tetapi senyum itu berhenti pada gerak bibir seperti
orng hendak menangis. Lama sekali wajahnya berubah menjadi topeng dengan
garis-garis muka penuh ironi. Topeng itu tidak hilang ketika dua orang
berseragam membawanya ke ruang tahanan di belakang kantor. Srintil berjalan
tanpa citra kemanusiaan. Tanpa citra akal budi, tanpa roh. Srintil menjadi
sosok yang bergerak seperti orang-orangan diembus angin (Hal. 241).
Setelah dibebaskan dari penjara,
Pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya
sebagai manusia. Srintil berniat memperbaiki citra dirinya, meninggalkan dunia
ronggeng, dan menata hidup sebagai perempuan yang tidak mau dimiliki oleh semua
orang, ia ingin menjadi istri dari seorang lelaki dengan mengharapkan kehadiran
Rasus. Letih menunggu Rasus, ternyata Bajus muncul dalam hidupnya dan sepercik
harapan pun timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Srintil berharap
Bajus menikahinya. Akan tetapi, harapan itu hancur ketika Bajus yang terkesan
akan menikahinya itu ternyata tetap menganggapnya sebagai ronggeng yang boleh
dimiliki oleh semua lelaki. Hancur leburlah hati Srintil tak kuat menahan
penderitaan batinnya sampai ke titik nadir, Srintil kemudian menjadi gila yang
pada akhirnya menyisakan luka di hati Rasus.
Kutipan yang
mendukung: “Pada usia empat belas tahun aku berani mengatakan Srintil cantik” hal 36.
“Sore itu Srintil menari dengan mata setengah tertutup. Jari tangannya melentik
kenes. Ketiga anak laki-laki yang menggiringnya menyaksikan betapa Srintil
telah mampu menyanyikan banyak lagu-lagu ronggeng” hal 13. Karena diusir dengan
halus aku pun pulang. Dalam hati aku mengumpat: bajingan!” hal. 37. “Srintil
takkan mengerti hal itu. Dan sekali lagi kukatakan Srintil tak bersalah. Maka
untuk menjawab pertanyaan, kukatakan, “Srin, kau dan aku sama-sama menjadi anak
Dukuh Paruk yang yatim-piatu sejak kanak-kanak. Kita senasib” hal 50.
·
Peranan
tokoh Srintil dalam tradisi ronggeng.
Ronggeng adalah tradisi pada sebuah
desa, Dukuh Paruk yang memiliki makna sosial dan spiritual. Sosial karena
berurusan dengan kehidupan sosial masyarakat pada saat itu beserta segala tradisinya,
dan sakral karena berkiblat oleh kesakralan makam Ki Secamenggala (hal 10).
Disitu menyuarakan peranan Srintil sebagai ronggeng sebuah desa milik bersama
yang sangat berharga, Srintil sangat menyadari hal itu bahwa ia adalah seorang
ronggeng yang harus selalu tampil sempurna dan dapat memikat setiap jiwa
lelaki. Begitu berharganya kehadiran seorang ronggeng, sampai-sampai para istri
tidak pernah merasa cemburu bila suaminya menjamah Srintil, bahkan mereka
menjual apa saja guna bisa bersama Srintil meski hanya satu malam. Pernyataan
ini diperkuat dengan kutipan “Nanti kalau
Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang
menjamahnya,” kata seorang perempuan. ”Jangan besar cakap,” kata yang lain.
”Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama pada lelaki yang memberinya uang
paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.” ”Tetapi suamimu
sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok.” ”Aku yang
paling tahu tenaga suamiku, tahu?” “Tetapi jangan sombong dulu. Aku bisa
menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku
akan menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.” (hal 38).
Jiwa keronggengan yang didapat
Srintil adalah gratis, ia tidak belajar dari siapaun. Dari kecil ia memang suka
manari dan sangat lihai melakukanya, dari sinilah Srintil dianggap mendapat
indang dari Ki Secamenggala Di pedukuhan
itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran.
Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh
indang telah merasuk tubuhnya, indang adalah semacam wngsit yang dimuliakan di
dunia peronggengan (hal. 13). Kesenangan Srintil meronggeng terlihat pada
kutipan “Mulut Rasus dan kedua temannya
pegal sudah. Namun Srintil terus melenggang dan melenggok. Alunan tembangnya
terus mengalir seperti pancuran di musim hujan”. (hal 13)
Tekat Srintil untuk menjadi ronggeng
sudah bulat, ia menjalani segala tata upacara dan persyaratan yang harus
dilaluinya dengan seksama, meskipun itu susah ia tetap menjalani ketiga
persyaratan itu dengan sepenuh hati sebelum resmi menjadi seorang ronggeng.
Pertama Srintil harus mementaskan sebuah ronggeng di hadapan masyarakat Dukuh
Paruk. Masyarakat menyambut antusias akan kabar ini setelah bertahun-tahun adat
ronggeng seperti menghilang ditelan bumi di desa mereka. Nyai Kertareja yang
bertaggungjawab akan Srintil malam itu, ia mendandani dan membacakan mantera
pada ubun-ubun Srintil “Di halaman rumah
kartareja ronggeng bermain satu babak. Tidak seperti biasa, pentas kali ini
tanpa nyanyi dan tarian erotik. Mulut Sakum bungkam. Si buta itu tidak
mengeluarkan seruan-seruan cabul. Semua orang tahu permainan kali ini bukan
pentas biasa. Tetapi merupakan bagian dari upacara sakral yang dipersembahkan
kepada leluhur Dukuh Paruk” (hal 45). Yang kedua, Srintil harus dimandikan
di makam Ki Secamenggala, makam yang dikeramatkan oleh masyarakat Dukuh Paruk “Kemudian di sana Srintil menyembah dengan
takzim, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan lingkaran para penabuh” (hal
46). Yang ketiga adalah bukak klambu, calon ronggeng harus menjalani upacara
bukak klambu. Semacam sayembara bagi setiap lelaki yang bisa membayar paling
mahal maka ia akan mendapatkan keperawanan Srintil. Mulai dai sinilah timbul
kebimbangan di hati Srintil karena ia terlanjur jatuh cinta pada rasus. Ia tau,
ini adalah hal yang berat baginya dan juga wanita-wanita lain. Namun hukum adat
tetap harus dilaksanakan. Tidak disangka, Srintil mengingkari persyaratan
ketiga ini, ia pergi kerumah Rasus dan meminta Rasus untuk menggaulinya tanpa
syarat apapun. Srintil lebih rela bila keperawananya jatuh pada orang yang ia
cintai, menurutnya itu lebih tepat. Sejak kejadian itu, Rasus pergi dari
desanya karena ia merasa tidak mematuhi lagi hokum adat yang berlaku sudah
sekian lama “Langkahku tegap dan pasti.
Aku, Rasus sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan
dan penghuninya akan kutinggalkan.” (hal 106). Pandangan Srintil mengenai
ronggeng Dukuh Paruk, dimana ia mencintai seorang lelaki dan ingin hidup
denganya tidak tewujud. Ronggeng tidak boleh terikat pada seorang lelaki, ia
tidak boleh menikah, juga tidak boleh hamil. Dan dia pun kini benar-benar
seorang ronggeng, bermartabat, berkedudukan, dan kaya raya. Tidak lama kejayaan
itu bagi Srintil, ia mulai jenuh dengan kehidupan ronggeng yang dijalaninya. Ia
tetap masih mencintai Rasus, ia membutuhkan Rasus, bahkan ia selalu mencari
Rasus hingga kehilangan separuh selera hidupnya. Pada hiruk-pikuk kehidupan
Srintil yang terombang-ambing inilah mul tokoh Goder, seorang bayi yang tidak
tau apa-apa, yang lemah namun memberikan kekuatan luar biasa pada Srintil untuk
merubah jalan hidupnya lagi. goder adalah sosok nyata yang tidak bisa
didapatkan Srintil secara nyata. Tradisi ronggeng semakin dibalikan oleh
Srintil, hilam, tenggelam, dan tiada. Kini ia bukanlah seorang ronggeng Dukuh
Paruk yang selalu diagung-agungkan lagi. Ia mulai menjalani kehidupan barunya
bersama Bajus, lelaki yang berusaha ia cintai. Ketika hampir berhasil ia
mengalihkan pandangan dari Rasus, ternyata Bajus menghianati Srintil dengan
menjualnya pada seorang mandor dan menuduh Srintil adalah bagian dari PKI.
Srinti, ronggeng, dan jiwasehatnya teah hilang.
2.2 Novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini
· Sinopsis
Cerita bermula ketika Luh Sekar berobsesi menjadi
seorang yang berdrajat tinggi, dan untuk memnuhi obsesinya itu, dia melakukan
banyak cara. Luh Sekar terlalu mengagungkan nilai-nilai kebangsawanan, dia
berfikir menjadi bagian dari keluarga besar “griya” drajatnya lebih tinggi
dibanding perempuan sudra lainnya.
Setelah disunting secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, Luh Sekar tidak hanya harus meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, dia harus juga meninggalkan semua yang pernah membesarkannya.
Setelah Jero Kenangan menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, maka lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Ida Ayu Telaga Pidada adalah seorang penari oleg yang tidak terkalahkan. Ida Ayu Telaga Pidada kemudian menikah dengan Wayan Sasmitha yang seorang sudra, pernikahan itu dilarang. Karena dianggap menimbulkan malapetaka. Dan dari pernikahan itu Telaga melahirkan Luh Sari.
Ketika Wayan Sasmitha meninggal, hal ini dianggap sebagai malapetaka yang ditimbulkan dari pernikahan campuran. Dan malapetaka itu akan hilang jika Telaga melakukan upacara patiwangi, upacara penanggalan gelar kebangsawanan. Setelah upacara itu, dilangsungkan Telaga menjadi wanita sudra seutuhnya.
Setelah disunting secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, Luh Sekar tidak hanya harus meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, dia harus juga meninggalkan semua yang pernah membesarkannya.
Setelah Jero Kenangan menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, maka lahirlah Ida Ayu Telaga Pidada. Ida Ayu Telaga Pidada adalah seorang penari oleg yang tidak terkalahkan. Ida Ayu Telaga Pidada kemudian menikah dengan Wayan Sasmitha yang seorang sudra, pernikahan itu dilarang. Karena dianggap menimbulkan malapetaka. Dan dari pernikahan itu Telaga melahirkan Luh Sari.
Ketika Wayan Sasmitha meninggal, hal ini dianggap sebagai malapetaka yang ditimbulkan dari pernikahan campuran. Dan malapetaka itu akan hilang jika Telaga melakukan upacara patiwangi, upacara penanggalan gelar kebangsawanan. Setelah upacara itu, dilangsungkan Telaga menjadi wanita sudra seutuhnya.
·
Kedudukan
Telaga dalam novel “Tarian Bumi” karya
Oka Rusmini
Dalam kegemerlapan kehidupan di
Bali, tedapat suatu adat yang sidegang
teguh masyarakat Bali hingga sekarang, yaitu kasta atau kelas sosial. Kasta
memiliki empat tingkat, mulai dari sudra sebagai kasta terendah sampai kasta
brahmana sebagai kasta tertinggi di Bali. Tentu saja kasta dalam kehidupanya
mempengaruhi kehidupan masyarakatnya mulai dari segi sosial maupun adat.
Sudahlah jelas, kasta tertinggi akan mendapat tempat di mata masyarakat dan
kasta terendah bukanlah siapa-siapa. Disini Oka Rusmini menguak tentang segi
negatif dari keberadaan kasta di Bali yang mau tak mau harus mengendalikan
pengikutnya secara berlebihan, bahkan mengenai hati dan perasaan, mereka harus
tetap berpegang teguh pada kasta atau golongan mereka masing-masing “Aku capek jadi perempuan miskin, Luh. Tidak
ada orang yang menghargaiku. Ayahku telibat kegiatan politik, Sampai kini tak
jelas hidup atau matikah dia. Orang-orang mengucilkan aku kata mereka, aku anak
penghianat. Anak PKI ! yang berbuat ayahku yang menanggung beban aku dan
keluargaku. Kadang-kadang aku berfikir kalau kutemukan laki-laki itu aku akan
membunuhnya...!” (hal 22). Oka Rusmini juga menjadikan perempuan sebagai
objek penggambaranya karena dinilai sangat strategis dan sarat akan kehidupan nyata mereka, yang dapat
mengetuk hati pembaca agar tahu dibalik kemeriahan Pulau Bali terdapat adat
yang sungguh menyakitkan yang bisa menyiksa lahir maupun batin pengikutnya.
Tidak hanya dari kasta sudra yang menderita, perempuan dari kasta brahmana pun
bisa menderita, bahkan dianggap pembawa petaka “Berkali-kali tiang berkata, menikah dengan perempuan Ida Ayu pasti
mendatangkan kesialan. Sekarang anakku mati! Wayan tidak pernah mau mengerti.
Ini bukan cerita dongeng. Ini kebenaran. Kalau sudah begini jadinya aku harus
bicara apa lagi !” Luh Gumbreg memukul dadanya. Menatap Telaga tidak senang.
Telaga adalah potret gambaran perempuan kasta brahmana di Bali yang kaya,
seorang terpandang namun tidak bahagia. Ialah korban kebudayaanya sendiri,
penggolongan kelas sosial atau kasta, ia jalani hidup dengan penerimaan namun
ketidak patuhan, antara apakah harus menyerah atau mendambakan kebebasan namun
tak pernah ia dapatkan kebebasan sempurna. Kisah demi kisah Telaga lalui untuk
mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan yang ia yakini, meski berat hal yang
harus ia jalani, yaitu upacara Peti Wangi atau penanggalan gelar Ida Ayu-nya
seperti yang dibuktikan paragraph empat terakhir novel nerjudul “Tarian Bumi”“Telaga mulai mebuka bajunya.
Dia hanya mengenakan kain sebatas dada. Seorang pemangku mengucapkan
mantra-mantra. Kaki perempuan itu diletakkan pada kepala Telaga, tepat
diubun-ubun. Air dan bunga menyatu. Kali ini, Telaga merasakan air dan bunga
tidak bersahabat dengannya. Air menulsuk-nusuk tubuhnya. Bunga-bunga mengorek lebih
dalam lukanya. Sebuah upacara harus dilakukan demi ketnangan keluarganya. Dmi
Luh Sari, Telaga telah dianggap sumber malapetaka dan kesialan keluarga Gumbreg.
Air itu mulsi menguasai tubuhnya seperti ratusan tombak tajam. Telaga menggigil.
“Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran tu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” Dalam kenyataanya, gender pria atau wanita bukan ditentukan daari segi biologis ketika mareka lahir melainkan dari hokum adat yang mengikatnya. Jadi, sesungguhnya dapat kita simpulkan bahwa perempuan-perempuan di Bali sangat kuat dalam menghadapi segala cobaan yang datang menghampirinya, mereka selalu menomorduakan kepentinganya dibawah kepentingan adat atau hokum-hukum pengikat.
Air itu mulsi menguasai tubuhnya seperti ratusan tombak tajam. Telaga menggigil.
“Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran tu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.” Dalam kenyataanya, gender pria atau wanita bukan ditentukan daari segi biologis ketika mareka lahir melainkan dari hokum adat yang mengikatnya. Jadi, sesungguhnya dapat kita simpulkan bahwa perempuan-perempuan di Bali sangat kuat dalam menghadapi segala cobaan yang datang menghampirinya, mereka selalu menomorduakan kepentinganya dibawah kepentingan adat atau hokum-hukum pengikat.
3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Peranan dan kedudukan tokoh wanita
dalam kedua novel karya sastra “Ronggeng Dukuh Paruk” dan “Tarian Bumi” sebagai
perbandingan adalah sama-sama sebagai objek pembicaraan yang mengalami
liku-liku kahidupan yang amat sagat berat, dimana kesusahan itu tidak tercipta
dari dirinya sendiri melainkan karena hukum alam yang manimpa diri mereka.
Kedudukan kedua tokoh utama Srintil dan Telaga-pun hampir sama, yaitu sebagai
tokoh kompleks yang menonjolkan konflik atau permasalahan dari berbagai sudut.
Penceritaan oleh pengarang sangat naturalism.
3.2 Saran
Melalui karya sastra, pembaca
diharapkan dapat mengambil faedah atau manfaat-manfaat atau segi positif dari
sebuah hal yang janggal yang dimuat oleh pengarang. Dengan menelaah isi novel
secara mendalam, sama halnya kita mempelajari budaya suku-suku lain pada suatu
wadah (Negara atau wilayah) yang sama. Ternyata kesamaan warna bendera tidak
menjamin kesamaan garis kehidupan pada diri kita pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar